Mengapa umr Yogyakarta rendah? Padahal dijuluki sebagai “kota pelajar”

Yogyakarta merupakan bagian dan sekaligus ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Jogja dikenal sebagai “kota pelajar”, julukan ini berasal dari banyaknya institusi berkualitas yang berdiri seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Negeri Yogyakarta. Secara teori, pendidikan tinggi secara umum meningkatkan produktivitas dan daya saing, sehingga berpotensi meningkatkan penyerapan dan memberikan peluang untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi. Namun, jika dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Tengah, upah minimum Yogyakarta termasuk rendah padahal kota ini dijuluki sebagai “kota pelajar”.Kondisi ini menimbulkan paradoks dan pertanyaan, “apa yang membuat upah minimum jogja rendah padahal banyak sekali institusi berkualitas”.

Berdasarkan data BPS tahun 2025, Yogyakarta memiliki UMR sebesar 2,6 Juta Rupiah. Meski di atas UMP nasional, tetap tergolong rendah, apalagi jika kita membandingkannya dengan kota besar lainnya di Pulau Jawa. Salah satu argumentasi utama yang sering digunakan untuk membenarkan rendahnya upah minimum di Yogyakarta adalah anggapan bahwa biaya hidup di wilayah ini masih relatif rendah dibandingkan metropolitan lain. Penetapan upah minimum, baik provinsi maupun kabupaten/kota didasarkan pada survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dihitung oleh Dewan Pengupahan Daerah.

Di mata perhitungan KHL, Yogyakarta memang dinilai unggul dalam beberapa aspek yang menekan angka total kebutuhan hidup. Salah satunya bahan-bahan pokok dan makanan jadi, terutama makanan warung atau makanan tradisional, cenderung lebih terjangkau dibandingkan Jakarta atau Surabaya. Selain itu, kepadatan Jogja tidak setinggi kota besar memungkinkan mobilitas lebih mudah dan murah. Hasil dari survei KHL yang rendah inilah yang secara matematis menjadi justifikasi bagi pemerintah daerah untuk menetapkan UMP pada batas minimal sesuai regulasi, yang akhirnya menempatkan DIY sebagai provinsi dengan upah terendah.

Tidak seperti Jakarta atau bekasi yang berorientasi pada industri besar, Yogyakarta didominasi oleh sektor pariwisata dan creative economy. Sektor ini umumnya memiliki skala usaha yang lebih kecil dan kemampuan finansial untuk membayar upah tinggi yang relatif lebih terbatas jika dibandingkan perusahaan industri besar. Perbedaan dominasi sektor ini memiliki implikasi langsung pada kemampuan perusahaan untuk membayar upah tinggi.

Meskipun jumlahnya banyak dan menjadi penopang utama, UMKM memiliki margin keuntungan yang relatif tipis sehingga sangat sensitif terhadap kenaikan biaya operasional. Kenaikan upah minimum yang tinggi dapat memukul secara langsung daya tahan UMKM. Jika upah minimum dinaikkan secara drastis, banyak UMKM yang terancam gulung tikar atau memilih mengurangi jumlah karyawan. Selain UMKM, sektor Jasa (pariwisata dan kuliner) juga sangat dipengaruhi oleh faktor musiman dan kondisi eksternal seperti pandemi atau krisis ekonomi. Banyak pekerjaan di sektor ini seperti waiters, barista, staff toko yang secara kualifikasi dianggap tidak memerlukan keahlian spesialis yang tinggi.

Jogja dikenal sebagai pusat inovasi dan startup, banyak perusahaan di jogja, terutama yang masih berada di tahap awal, belum memiliki basis finansial yang kuat. Mereka sering menawarkan gaji awal yang cenderung rendah dengan iming-iming lingkungan kerja yang kreatif dan fleksibel. Setelah mengupas tuntas berbagai faktor, mulai dari dominasi ekonomi UMKM dan jasa, surplus tenaga kerja dari status Kota Pelajar, hingga perhitungan KHL yang konservatif kita dapat menyimpulkan bahwa rendahnya upah minimum Yogyakarta bukanlah suatu kebetulan, melainkan hasil dari interaksi kompleks antara struktur ekonomi yang unik dan dinamika sosial-budaya setempat. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, pengusaha, dan pekerja.

Pemerintah perlu meninjau ulang KHL dan memberikan insentif kepada UMKM atau perusahaan kreatif yang bersedia memberikan upah di atas upah minimum yang telah ditetapkan. Selain itu, pemerintah harus mendorong investasi di sektor teknologi (high tech) yang mampu menghasilkan keuntungan besar sehingga mampu membayar upah yang jauh lebih kompetitif.

Sumber: Kabinet Derap Asa | #Kominforke

Mengapa umr Yogyakarta rendah? Padahal dijuluki sebagai “kota pelajar”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to top