
Kota Surabaya merupakan ibu kota dari Provinsi Jawa Timur yang masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Surabaya juga menyandang predikat kota metropolitan, sekaligus menjadi kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Tak heran jika kota besar seperti Surabaya, memiliki banyak masalah lingkungan seperti halnya yang terdengar asing di telinga masyarakat yaitu masalah overpopulation (kelebihan penduduk). Terbilang asing, bukan berarti masalah baru bagi kota Surabaya, melainkan masalah yang sudah dulu ada namun masih belum bisa terselesaikan hingga sekarang. Overpopulasi sendiri merupakan kondisi yang tidak diinginkan dimana jumlah populasi manusia yang ada melebihi daya dukung bumi yang sebenarnya. Berdasarkan Proyeksi Penduduk pada tahun 2023, penduduk Kota Surabaya berjumlah 2.997.547 jiwa, dan tahun 2024 penduduk Kota Surabaya akan meningkat menjadi 3.021.043 jiwa. Dimana, dari data tersebut menandakan bahwa wilayah Surabaya sudah diduduki oleh banyak penduduk yang melebihi batas dari wilayah itu sendiri. Sehingga isu ini merupakan isu yang penting untuk dibahas, agar dapat ditemukan solusi yang tepat terhadap masalah ini.
Pada umumnya kepadatan penduduk yang tinggi di suatu daerah disebabkan oleh urbanisasi, tingginya angka kelahiran, dan kecenderungan penurunan angka kematian. Dari ketiga penyebab tersebut, urbanisasi menjadi penyebab utama tingginya kepadatan penduduk kota pahlawan ini. Tidak semua penduduk yang menetap di Kota Surabaya adalah penduduk asli Surabaya. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya, Pada tahun 2020, kurang lebih terdapat sekitar 25.723 penduduk yang datang dari luar kota Surabaya. Apabila dijabarkan jumlah tersebut terdiri atas 12.733 laki-laki (49,5 %) dan 12.990 perempuan (50,5%).
Banyaknya penduduk yang melakukan urbanisasi ke Surabaya bukanlah tanpa alasan. Banyak faktor yang menjadi pendorong terjadinya hal ini. Salah satunya adalah tingginya prospek di kota Surabaya yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, perindustrian, dan lain – lain. Rata – rata gaji buruh/karyawan di kota Surabaya juga lebih tinggi dibanding kota – kota sekitar. Selain itu kota Surabaya bersifat borderless yang artinya kita bisa keluar masuk sesuka hati tanpa harus memenuhi persyaratan tertentu. Ditambah lagi dengan mudahnya akses menuju kota Surabaya dengan medan yang mudah dilewati serta banyaknya layanan transportasi umum seperti bus, kereta api, pesawat, dan kapal laut. Akibat tingginya urbanisasi, tantangan kota Surabaya untuk memberikan tempat yang layak bagi para penduduk semakin sulit dikarenakan munculnya berbagai masalah akibat banyaknya penduduk yang berdatangan seperti: kemacetan, penggunaan lahan yang bergeser akibat kebutuhan untuk pemukiman, sampah yang terus bertambah, meningkatnya pengangguran dan kriminaltas, dan masih banyak lagi.
Kota Surabaya merupakan ibu kota Provinsi Jawa Timur, maka tak heran Surabaya kini menjadi pusat aktivitas masyarakat Jawa Timur. Kota Surabaya merupakan pusat perdagangan, bisnis, pendidikan dan industri Indonesia. Oleh karena itu, banyak orang dari luar daerah yang memilih merantau ke Surabaya untuk mengadu nasib.
Tingginya angka kepadatan penduduk dapat menyebabkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kependudukan, seperti tingkat kemiskinan, kekurangan lapangan kerja, dan kriminalitas. Angka pengangguran yang terus meningkat di wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi sangat identik dengan tingginya tingkat kriminalitas. Tingkat pertumbuhan penduduk yang begitu cepat mengakibatkan permintaan terhadap kebutuhan tenaga kerja menjadi terbatas. Permintaan terhadap kebutuhan tenaga kerja yang rendah ini membuat sebagian penduduk tidak memiliki pekerjaan dan memicu lahirnya tindakan kriminal. Tinginya angka kepadatan penduduk juga dapat menimbulkan dampak buruk bagi keberlangsungan kehidupan sehari-hari. Karena kepadatan penduduk yang tinggi, permintaan akan lahan tempat tinggal juga semakin meningkat. Namun, lahan yang tersedia di Kota Surabaya semakin terbatas. Akhirnya lahan pertanian diubah menjadi pemukiman, dan harga tanah di Surabaya meningkat dari tahun ke tahun. Daerah berpenghasilan rendah tidak mampu membeli tanah. Akibatnya, mereka mendirikan pemukiman di sektor pembangunan yang tidak berpenghuni seperti bantaran sungai, tanggul kereta api dan pantai. Seiring waktu, permukiman ini berubah menjadi kumuh, lingkungan tidak terpelihara dengan baik karena pendapatan yang rendah. Akibatnya, tingkat kesehatan dan pendidikan warga di permukiman ini menjadi rendah, dan berdampak pada produktivitas mereka yang semakin berkurang. Lebih sedikit produktivitas berarti lebih banyak ketergantungan. Dan jika ini terus berlanjut, Kota Surabaya dapat mengalami kemuduran karena sebagian besar penduduknya tidak produktif.
Jika kepadatan penduduk di kota Surabaya jika tidak terkelola dengan baik, akan menimbulkan banyak permasalahan di bidang ekonomi, sosial, serta aspekyang lainnya. Maka dari itu setiap tahun, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya mencatat data kepadatan penduduk di Kota Surabaya yang dikelompokkan berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin. Dari data tersebut didapat angka kelahiran kota Surabaya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkan tren naik dan turun pun juga di angka kematiannya. Begitu juga dengan jumlah pindah keluar kota, pada tahun 2020 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Parameter bentuk tertib administrasi kependudukan bagi penduduk dilihat dari banyaknya penduduk yang mengurus dokumen kependudukan berupa akte kelahiran maupun kematian, akte perkawinan dan akte perceraian, serta data keberangkatan dan kepergian. Berdasarkan data Dispendukcapil Kota Surabaya, jumlah penduduk yang mengurus akte kelahiran dibedakan menjadi pengurusanakte kelahiran untuk usia < 60 hari dan usia >60 hari. Untuk akte kematian dibedakan menjadi pokok dan tambahan. Untuk pemberian dokumen keimigrasian digolongkan menjadi beberapa jenis, diantaranya jenis paspor dan jenis dokumen imigrasi.
Dinas Pengendalian Penduduk mengwasi serta mengatur jumlah laju pertumbuhan penduduk di Surabaya. Diantaranya melaksanakan paguyuban, keluarga berencana, klinik KB dan lain-lain. Dinas Pengendalian penduduk, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak mengklasifkasikan data ataupun kegiatan tersebut dalam setiap kescamatan yang ada di kota. Dari pencatatan data tersebut pada saat tahun 2017 menyatakan terdapat banyak pasangan baru akseptor KB sebesar 68.981 pasangan. Pada tahun pberikutnya, terjadi penurunan hingga hanya 43.243 pasangan. Dalam menentukan indikator keberhasilan Pembangunan Kleuarga Berencana dapat dilihat berdasarkan jumlah peserta KB yang aktif, yakni pasangan yang dalam kondisi usia subur serta menggunakan alat kontrasepsi. Dalam tingkatan pencari kerja yang tinggi tidak sebanding dengan jumlah lowongan perkerjaan yang teredia. Pada tahu 2020 total lowongan perkerjaan yang siap menerima karaywan baru ataupun pegawai baru hanya sebanyak 2.053 perkerjaan. Untuk mengatasi hal tersebut Dinas Tenaga kerja mengadakan pelatihan serta ketrampilan kerja dan mendapatkan sertifikasi. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk membekali dan meningkatkan kompetensi kerja bagi para pencari kerja. Sebanyak 128 orang yang mengikuti pelatihan ketrampilan kerja. Jenis ketrampilan kerja yang sering di ikuti yakni pelatihan barista dengan jumlah 48 orang.