Artikel karya Syafa Aulia Ibnatia (Peserta BMS 2021)
Besutan Jombang: Pertunjukan Gemilang Cikal Bakal Ludruk yang Tidak Hanya untuk Dikenang
Foto: Kemdikbud
“Kesenian-kesenian asli daerah yang mulai pudar itu harus dihidupkan lagi. Ini prioritas.”
Chairuddin (2017), Ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Sukamara
Kutipan di atas secara tidak langsung menegaskan bahwa setiap daerah di Indonesia pasti memiliki kesenian-kesenian yang dianggap sebagai kebudayaan asli daerah yang harus dilestarikan. Soetarto dan Sihaloho (2008) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan segala sesuatu yang mencakup pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat. Budaya yang beraneka ragam menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Salah satu diantara jenis keragaman budaya tersebut adalah pertunjukan daerah. Sayangnya, di era globalisasi seperti saat ini nampaknya kata ‘pertunjukan daerah’ mulai redup dan tidak lagi eksis di kalangan masyarakat. Pertunjukan daerah mulai terasingkan dan tergantikan oleh pertunjukan modern. Tidak sedikit masyarakat Indonesia khususnya para remaja yang menomorsatukan pertunjukan modern. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya para remaja yang lebih memilih menonton pertunjukan konser boyband asal Korea ketimbang pertunjukan asli daerah mereka.
Layaknya peribahasa “Tak kenal, maka tak sayang”, kurangnya pengetahuan masyarakat akan nilai-nilai keluhuran suatu budaya menyebabkan hilangnya minat masyarakat terhadap kebudayaan lokal. Jika dibiarkan terus menerus seperti ini, tidak dapat dipungkiri, pertunjukan daerah lambat laun akan terlepas dari genggaman. Sampai saat ini, tidak terhitung berapa banyak pertunjukan daerah yang masih terdengar asing di telinga masyarakat. Bahkan, pertunjukan daerah yang jelas-jelas telah diakui oleh pemerintah sekalipun tetap masih ada masyarakat yang tidak mengenalnya, atau memang sengaja tidak mau mengenalnya.
Salah satu pertunjukan daerah yang telah diakui oleh pemerintah, tetapi masih sering terlupakan oleh masyarakat adalah Besutan yang berasal dari Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Besutan Jombang telah diakui oleh pemerintah pusat sebagai ”Warisan Budaya Tak Benda” yang mana salinannya telah diserahkan oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jombang, Agus Purnomo di Banyuwangi pada tanggal 14 November 2020 (Supriyatno, 2020). Banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui bahwa Besutan Jombang ini merupakan cikal bakal kesenian Ludruk yang dikenal sebagai kesenian asli Jawa Timur. Itulah sebabnya Kabupaten Jombang memiliki peranan yang penting dalam lintas sejarah kebudayaan di Jawa Timur. Selain itu, kabupaten dengan julukan ‘Kota Santri’ tersebut cukup sering membuat masyarakat berasumsi bahwa budaya-budaya yang dimilikinya pasti tidak akan jauh dari ritual keagamaan. Namun, pada kenyataannya khazanah budaya di Kabupaten Jombang tidak sedangkal itu. Bahkan, Besutan Jombang itu sendiri jika dilihat dari segi latar belakang lahirnya, tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan keagamaan. Lantas, sebenarnya bagaimana sejarah dan seperti apa Besutan Jombang itu?
Mengutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019), sejarah lahirnya Besutan dimulai sekitar tahun 1907, berawal dari mayoritas masyarakat Jombang yang bermata pencaharian sebagai petani. Pada saat itu, bagi sebagian masyarakat, mengandalkan penghasilan dari hasil bertani saja masih dirasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, salah seorang tokoh masyarakat bernama Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang berinisiatif untuk menambah penghasilan dengan mengamen. Awalnya Pak Santik hanya mengamen dengan menggunakan musik lisan saja, tetapi setelah bertemu dengan Pak Amir dari Desa Plandi, mereka berkolaborasi dan mulai mengamen menggunakan alat musik kendang. Melihat sambutan masyarakat yang positif, mereka berdua menambah anggota lagi dengan mengajak Pak Pono. Mereka bertiga mengamen dengan memoles wajah menggunakan bedak berwarna putih tebal agar tampak lucu dan sulit dikenali. Menurut Syasabil (2020), ketiga tokoh masyarakat tersebut menyebut dirinya sebagai ‘Besut’ saat mengamen. Periode ketika mereka melakukan amen diperkirakan sekitar tahun 1907-1915. Periode tersebutlah yang kemudian disebut sebagai periode amen atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lerok pada masanya. Sebenarnya, istilah Lerok ini sendiri berasal dari kata berbahasa Jawa “lorek-lorek”, yang artinya terkesan belang-belang (Syasabil, 2020). Dalam hal ini yang dimaksud terkesan belang-belang adalah riasan wajah yang digunakan oleh Pak Santik, Pak Amir, dan Pak Pon ketika mengamen tersebut yang terkesan tidak merata.
Seiring dengan berjalannya waktu, Lerok menjadi sebuah kesenian yang seakan-akan enggan terlepas dari kehidupan masyarakat Jombang. Tidak sedikit masyarakat Jombang pada saat itu menanggap pertunjukan Lerok di acara hajatannya. Lerok semakin berkembang sehingga muncullah pemain-pemain lain selain Besut yang turut berperan juga dalam pertunjukkan tersebut. Dari sinilah kemudian Lerok mulai dikenal dengan sebutan ‘Besutan’ yang berasal dari kata ‘Besut’ yang merupakan tokoh utama dalam pertunjukan Besutan tersebut.
Mengutip kembali dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2019), kata Besut sendiri merupakan akronim berbahasa Jawa dari kata “mbeto maksut”, yang dalam bahasa Indonesia berarti membawa maksud. Artinya, setiap pertunjukkan Besutan selalu membawa lambang dan maksud tersendiri, mulai dari dialek, kidungan, busana, hingga alur ceritanya. Dialek Besut yang lucu, tetapi selalu mengandung maksud dan tujuan tertentu melalui paribasan, sanepan, maupun parikan membuat pesan yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik oleh penonton. Itulah sebabnya Besutan terkesan unik karena dapat memikat hati penonton dengan caranya sendiri. Dengan demikian, tidak mustahil bagi Besutan dengan pertunjukannya yang gemilang menjadi trending pada masanya.
Pemain Besut dalam pertunjukan Besutan memerankan sosok laki-laki yang cerdas, terbuka, kreatif, inspiratif, transformatif, dan berseni. Berbeda halnya dengan pemain lain yang kostumnya selalu berubah-ubah menyesuaikan cerita, pemain Besut selalu menggunakan kostum yang sama di setiap pertunjukan. Kostum pemain Besut tersebut berupa kain putih dengan tali lawe yang diikatkan pada perutnya dan membawa selendang merah, serta memakai topi merah.
Pertunjukan Besutan tidak hanya menyajikan tari-tarian atau teater saja. Perlu ditegaskan bahwa pertunjukan Besutan lebih dari itu. Sebelum Besut memasuki arena, di tengah pentas ada obor yang belum menyala. Setelah gendhing kalongan berbunyi, keluar seseorang menyalakan obor dan disusul dengan keluarnya Besut sambil berjalan ngesot (berjalan dengan duduk, kedua tangan sebagai penyangga) dengan mata terpejam dan mulut disumbat susur (daun tembakau). Kemudian, pada saat gendhing kalongan memasuki irama kedua, Besut mulai menari. Adapun tata tari dari pertunjukan Besutan ini menggunakan tari remo jombangan yang juga berasal dari Kabupaten Jombang. Ketika tarian selesai dan iringan berhenti, Besut membuka mata perlahan-lahan dan menyemburkan susur dari dalam mulutnya pada obor hingga api padam. Kemudian, dilanjutkan dengan kidungan bersaut-sautan yang diiringi pengrawit. Ketika kidungan selesai, dialog antara Besut dengan pemain lain pun dimulai sesuai jalan cerita. Jika dialog tersebut telah selesai, maka selesai pulalah pertunjukan Besutan tersebut.
Pada umumnya, pertunjukan Besutan membawakan cerita mengenai kritik terhadap kehidupan sosial. Misalnya, lakon Besut Wani, karya Yusup Eko Nugroho yang menceritakan tentang kisah cinta antara Besut dan Rusmini yang dipisahkan oleh Man Gondo karena hutang piutang kepada Lurah Sumo Gambar. Lakon ini berlatar adegan di Desa Pandanwangi, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang pada tahun 1928, tepatnya pada masa perjuangan melawan Belanda. Tokoh Besut pada lakon Besut Wani ini adalah sosok yang setia kepada Rusmini, peduli kepada masyarakat, dan berani membela kebenaran. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap. Akan tetapi, berkat kerja keras dan tutur katanya yang menyenangkan hati, ia menjadi sosok yang dipandang oleh masyarakat. Akibatnya, Lurah Sumo Gambar menjadi iri dan membecinya. Namun, Besut tidak mudah menyerah dan cerdik dalam memecahkan masalah sehingga mampu mengalahkan Lurah Sumo Gambar dengan siasatnya yang berujung ditangkapnya Lurah Sumo Gambar oleh Belanda (Syaputri, 2017).
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Besutan merupakan sebuah kesenian warisan budaya daerah Jombang berupa pertunjukan yang memiliki keunikan, baik dari segi latar belakang lahirnya maupun dari segi pertunjukannya. Besutan memiliki caranya sendiri dalam menyampaikan suatu pesan tertentu untuk memikat hati penonton. Disamping itu, Besutan juga memegang peranan penting dalam lintas sejarah kesenian Ludruk di Jawa Timur. Sudah sepantasnya bagi masyarakat Jombang merasa bangga memiliki kebudayaan Besutan ini. Begitupun penulis yang merasa bangga ketika mengetahui bahwa tokoh Besut sampai sekarang masih dikenang dengan dijadikannya ia sebagai maskot andalan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Jombang.
Perlu digarisbawahi bahwasanya hanya merasa bangga dengan tetap mengenang Besutan saja tidak akan cukup untuk menghidupkan kembali kebudayaan ini di tengah masyarakat. Perlu diingat bahwa Besutan Jombang adalah pertunjukan gemilang cikal bakal ludruk yang tidak hanya untuk dikenang. Oleh karena itu, bersamaan dengan melihat banyaknya persoalan-persoalan lain terkait seni-budaya yang masih terkubur di lorong terdalam kesejarahan Kabupaten Jombang, sudah menjadi kewajiban setiap generasi muda untuk menggali dan menggaungkan nilai-nilai keluhuran yang ada demi melestarikan dan menghidupkan kembali kebudayaan tersebut. Dengan lestarinya budaya lokal, diharapkan Indonesia dapat mempertahankan identitas dan tetap eksis sebagai negara dengan keanekaragaman budaya.