Dampak COVID-19 Pada Industri Kimia

Banyak yang berubah total semenjak munculnya pandemi COVID-19. Dari segi pariwisata lokal dan mancanegara turun drastis ditandai dengan industri penerbangan dan demand terhadap hotel, industri makanan, dan minuman yang turun. Dampaknya tidak hanya dirasakan di sektor kesehatan, tetapi juga telah merambah ke bidang sosial, budaya, dan bahkan di sektor ekonomi. Tidak bisa dipungkiri bahwa tahun 2020 merupakan tahun yang sangat menantang, tidak hanya bagi Indonesia, melainkan seluruh dunia mengalami hal yang sama.

Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar 2,07 persen sepanjang tahun 2020, dari sebelumnya tumbuh berkisar antara 4 sampai 5 persen di beberapa tahun sebelumnya. Jika merujuk data global, hampir seluruh ekonomi di negara-negara Asia bahkan dunia terkena dampak signifikan karena pandemi. Sektor industri pengolahan non-migas, yang merupakan kontributor utama ekonomi Indonesia, juga mengalami kontraksi. Kontraksi terdalam yang dialami industri pengolahan terjadi pada kuartal II tahun 2020, yaitu sebesar -5,74 persen. Namun seiring berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, ekonomi indonesia menunjukkan perbaikan dalam kuartal-kuartal berikutnya. Sehingga secara komulatif, industri pengolahan nonmigas mengalami perlambatan hanya 2,52 persen di sepanjang tahun 2020.

Industri Kimia di masa pandemi COVID-19 tentunya menghadapi tantangan besar dan harga minyak yang kian turun. Kebanyakan industri melakukan wait and see untuk perekrutan tenaga kerja baru. Berbagai peluang kerja yang sementara turun diantaranya dari Industri Minyak dan Gas (Migas), Kosmetik, Komoditas Ekspor, dan Tekstil. Penurunan ini diakibatkan kebijakan pemerintah yakni PSBB. Berbeda dengan Industri Produk Kesehatan, Fast Moving Consumer Good (FMCG), Petrokimia, dan Kimia Dasar yang terkait justru mengalami kenaikan peluang kerja akibat kebutuhan rumah tangga yang meningkat pula semenjak PSBB diberlakukan. 

Peralihan bisnis pun mulai dilakukan oleh berbagai industri sebagai bentuk adaptasi akibat penurunan demand di sektor terkait. Contohnya seperti bisnis tekstil beralih menjadi produsen APD dan masker, produsen Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) beralih menjadi produsen ventilator, dan produsen kosmetik beralih menjadi produsen handsanitizer/ desinfektan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam meminimalisir dampak pandemi COVID-19 terhadap sektor industri pada tahun 2020. Upaya tersebut antara lain adalah kebijakan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI), Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) COVID-19, penurunan harga gas bumi, dan insentif biaya minimum pemakaian listrik untuk industri terdampak. Pada tahun 2021 ini, berbagai strategi juga akan dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian Perindustrian. Salah satunya adalah melakukan program substitusi impor pada sektor industri yang memiliki importasi besar yang dilakukan secara simultan dengan peningkatan utilisasi produksi yang sempat menurun saat pandemi. Dilansir dari ikftkememperin, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita optimistis dengan berbagai program, kebijakan dan stimulus yang telah dan akan diluncurkan pemerintah, dapat membangkitkan kembali gairah pelaku usaha dan pemulihan ekonomi nasional. 

Kebijakan lainnya, mendorong pendalaman struktur dan peningkatan investasi di sektor industri kimia, farmasi, dan tekstil. Peningkatan investasi sangat berdampak besar bagi perekonomian utamanya dalam penyerapan tenaga kerja. Ekonomi Indonesia dan Dunia diperkirakan akan pulih paling cepat pada tahun 2022, dengan pemulihan dimulai pada 2021 (BI, 2020). Tantangan akan substitusi impor juga menjadi bukti diperlukannya kemandirian saat keadaan darurat akibat COVID-19. 

Laa’19

Sumber : ikft.kemenperin.go.id, merdeka.com, bisnis.com

😃+

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *