
Dewasa ini, salah satu kondisi lingkungan yang paling menjadi sorotan adalah pencemaran udara. Pencemaran udara biasanya disertai dengan adanya peningkatan kadar gas CO2 yang ada pada udara sehingga menjadikan lingkungan tidak sehat. Pada lingkungan yang tidak tercemar, konsentrasi oksigen dan karbon-dioksida masing-masing sekitar 20,95% dan 0,03% (300 ppmv). Menurut data, konsentrasi gas CO2 sebelum maraknya kegiatan industri sebesar 275 ppmv sedangkan pada masa sekarang konsentrasinya sebesar 350 ppmv. Jika diperhitungkan, apabila penggunaan bahan bakar minyak dan gas tidak berubah, maka dalam kurun waktu 60 tahun mendatang konsentrasi gas akan meningkat menjadi 550 ppmv. Perubahan konsentrasi gas ini dari 275 menjadi 550 ppmv akan mengakibatkan peningkatan suhu udara sebesar 5oF (2,78oC) (Endess, 2011). Hal ini benar adanya, tingkat CO2 kini sudah kampir melampaui batas dimana artinya akan melebihi 417 ppmv atau setara dengan meningkatnya 50% terhitung sejak awal aktivitas industri pada abad ke-18.
Salah satu aktivitas yang berpengaruh terhadap adanya emisi CO2 yaitu produksi hidrogen. Seperti yang kita ketahui, keadaan hidrogen di alam tidak dalam keadaan murni, sehingga membutuhkan energi untuk memisahkannya. Untuk memisahkannya biasanya digunakan panas dan reaksi kimia dari bahan bakar fosil. Produksi dengan menggunakan bahan bakar fosil ini dilakukan melalui steam methane reforming, yang merupakan sebuah proses dimana uap (diproduksi dengan menggunakan turbin gas alam) dan bereaksi dengan bahan bakar hidrokarbon untuk menghasilkan hidrogen dan CO2. Diperkirakan pada tahun 2017, industri produksi hidrogen bertanggung jawab atas 830 Mt emisi CO2 secara global.
Peningkatan CO2 ini membawa negara menerapkan segala upaya untuk mengurangi emisi tersebut. Salah satunya adalah dengan dekarbonisasi. Dekarbonisasi adalah upaya yang mengacu pada proses pengurangan emisi CO2 yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Upaya dekarbonisasi ini sudah ditetapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk tahun 2050. Salah satu aktivitas yang dinilai dapat menunjang upaya dekarbonisasi ini adalah dengan mengembangan renewable green technology untuk beberapa produksi. Salah satunya adalah metode “hijau” untuk memproduksi hidrogen yang sering disebut dengan “green hydrogen”.
Green hydrogen didasarkan pada pembangkitan hidrogen yang merupakan bahan bakar universal, ringan, dan sangat reaktif melalui proses kimia yang dikenal sebagai elektrolisis. Metode ini menggunakan arus listrik untuk memisahkan hidrogen dari oksigen dalam air. Jika listrik ini diperoleh dari sumber terbarukan, maka kita akan menghasilkan energi tanpa memancarkan CO2 ke atmosfer. Metode memperoleh green hydrogen ini akan menghemat 830 juta ton CO2 yang dikeluarkan setiap tahun ketika gas ini diproduksi menggunakan bahan bakar fosil.
Secara umum penggunaan green hydrogen digunakan untuk beberapa kepentingan untuk kebutuhan chemical industry, industri lain seperti industri makanan dan baja, petrochemical industry sebagai bahan bakar hijau (green fuels), dan fuel cells untuk keperluan transportasi seperti pada mobil, kapal, dan pesawat terbang. Meskipun memiliki banyak manfaat, namun kekurangan dari green hydrogen ini terletak pada biaya produksinya. Biaya produksi dari green hydrogen tergolong mahal sehingga di beberapa negara masih belum menerapkan penggunaan dan produksi green hydrogen secara besar-besaran.
Menurut Ketua Yayasan Purnomo Yusgiantoro (PYC) Filda Yusgiantoro, adanya green hydrogen dinilai lebih efektif dikarenakan tidak menghasilkan emisi (zero emission), selain itu dengan menggunakan sumber renewable energy dapat digunakan untuk produk berkelanjutan menunjang perkembangan energi di negara. Dilansir dari Kompas.com, menurut Dadan (Direktur jendral EBTKE ESDM) green hydrogen dapat menunjang upaya dekarbonisasi dikarenakan green hydrogen merupakan bentuk energi (energy carrier) yang strategis untuk mencapai dekarbonisasi, serta net zero emission. Selain itu, di Indonesia sendiri pengembangan green hydrogen masih dalam tahap pengkajian dan perencaan pilot project dengan memanfaatkan PLTP.
Perkembangan green hydrogen juga terjadi di negara lain, contohnya Australia. Dilansir dari KoranJakarta.com di bagian Australia Barat akan segera dimulai pembangunan proyek hidrogen hijau dengan mengerahkan 50 GW pembangkit tenaga surya dan angin untuk menghasilkan 3,5 juta ton hidrogen hijau atau setara engan 20 juta ton amonia per tahun. Proyek ini membutuhkan dana yang cukup besar dalam dunia industri energi. Pembangunan ini akan dilakukan secara bertahap. Australia juga bekerja sama dengan Jerman pada tahun lalu untuk mendanai studi kelayakan yang secara khusus mengamati ekspor hidrogen hijau dari yang pertama ke yang kedua.
Tak hanya Australia, di Abu Dhabi perusahaan energi terbarukan Masdar juga mengembangkan solusi bahan bakar hidrogen hijau untuk infrastruktur ibukota UEA. Sumber daya surya yang melimpah di UEA, dikombinasikan dengan infrastruktur, sumber daya, dan basis pengetahuan kami di industri energi sangat membantu Masdar menjadi pemain kunci dalam ekonomi hidrogen global. Produksi green hydrogen ini ditujukan agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi berkelanjutan dan juga meluas ke pasar internasional.
Melihat hal tersebut, adanya produk green hydrogen merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk menunjang proses atau upaya dekarbonisasi di berbagai negara. Hal ini terbukti dengan adanya usaha di berbagai negara untuk berani memproduksi green hydrogen dengan baik sehingga dapat dipasarkan dan digunakan untuk mengurangi emisi di seluruh dunia.
Frid’19